JANUARI 22, 2011
Selama menjabat sebagai Presiden, Pak SBY sudah berkali-kali menyinggung
tentang gajinya yang gak naik-naik, gajinya masih rendah, belum
tertinggi. Pada 5 Januari 2009, dalam pidatonya Pak SBY mengatakan “Gaji presiden harusnya yang paling tinggi,
tapi ternyata tidak,”. Lalu, pada 3 April 2009, di hadapan para
guru di Surabaya, Pak SBY bercerita di depan para pendidik bahwa “Gaji saya belum pernah naik. Enggak apa-apa,” [1]. Yang terbaru adalah pada saat acara penutupan Rapat Pimpinan
(Rapim) TNI dan Polri Tahun 2011 di Jakarta (21 Januari ’11), “Soal kesejahteraan prajurit TNI dan Polri,
ini bukan retorika bukan janji-janji kosong bukan kebohongan. Tiap tahun, kita
naikkan gaji dan lain-lain. Renumerasi telah diberikan. Renumerasi untuk
meningkatkan kinerja dan prestasi. Sampaikan ke seluruh jajaran TNI dan
Polri… Ini tahun keenam menuju ketujuh gaji Presiden belum naik.
Betul. Tapi memang saya niati.
Saya ingin semua sudah mendapatkan kenaikan yang layak, tepat, dan adil. Tolong
laksanakan, implementasikan dengan baik,” [2].
Dari ketiga pernyataan tersebut, pesan Pak SBY cukup jelas. Pak SBY ingin
masyarakat terutama audiens memberi simpati kepada beliau, sekaligus
melakukan serangan balik kepada para pengkritiknya. Hati Pak SBY
sangat gundah, dan dari kata-kata dalam pidatnya, kelihatan sekali beliau marah
atas pernyataan bersama Tokoh Lintas Agama dan Pemuda pada 10 Januari 2011.
Romo Benny Susetyo, salah satu tokoh agama menyampaikan “Kami mengimbau kepada elemen bangsa,
khususnya pemerintah, untuk menghentikan segala bentuk kebohongan publik“.
Lebih lanjut, Romo Benny menghimbau komponen masyarakat untuk bergerak melawan
kebohongan. “Marilah
kita canangkan tahun 2011 ini sebagai tahun perlawanan kebohongan,”[3].
Sebagai manusia yang memiliki perasaan, tentu saja Pak SBY merasa sangat
tersinggung ketika dirinya disebut-sebut menyebar kebohongan. Dan tentu saja
beliau sangat kuatir apabila stigma “bohong” menempel dalam dirinya. Lebih
kuatir, gundah dan marah tatktala Tokoh Lintas Agama dan Pemuda merilis bahwa
ada 9 Kebohongan Janji Lama Pemerintah [4] dan 9 Kebohongan Janji Baru Pemerintah [5]. Seperti kita ketahui bahwa angka 9 selama ini merupakan angka “keramat”
Pak SBY yang lahir pada tanggal 9 bulan 9 tahun ’49.
Segala bentuk serangan balik dan keluh kesah yang disampaikan Pak SBY
merupakan bentuk pencitraan, suatu habit beliau yang sudah dikenal luas
oleh masyarakat. Pak SBY sama
sekali tidak mengeluh agar gajinya naik. Bukan itu maksud beliau. Pak
SBY ingin menunjukkan diri sebagai negarawan yang peduli dengan
rakyatnya. Beliau adalah presiden yang bekerja keras walaupun negara
tidak menaikkan gaji beliau. SBY ingin mencitrakan diri sebagai pemimpin yang
bekerja tanpa pamrih dan tidak mengeluh. Dia adalah seorang abdi negara.
31.2 Juta Rakyat Hidup Miskin Dibawah Rp 7100 per
hari*
Namun sayang, alangkah baiknya Pak SBY tidak melontarkan kata-kata “gaji
tidak naik-naik”. Suatu pencitraan yang tidak seharusnya dilakukan mengingat ada
puluhan juta masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, ada 31.2 juta rakyat Indonesia
yang hidup rata-rata dibawah Rp 7100* per hari [6]. Artinya sebanyak 31.2 juta rakyat Indonesia hanya memiliki
penghasilan rata-rata dibawah Rp 220.000 per bulan. Dan apabila dibandingkan
dengan gaji Bapak Presiden, maka gaji Pak SBY saat ini adalah 290x dari rata-rata 31.2 juta rakyat
Indonesia. Sementara, penghasilan 31.2 juta rakyat Indonesia ini gak
naik-naik.
Apabila kita menggunakan filosofi, Andre
Malraux, seorang penulis dan petualang asal Prancis, ”To command is to
serve, nothing more and nothing less“. Artinya seorang pemimpin tidak
lain tidak lebih harus menjadi pelayan bagi para pengikutnya. Selama ada
pengikut atau dalam konteks ini adalah rakyat yang dipimpinnya, maka tugas
seorang pemimpin harus memastikan bahwa rakyatnya sudah hidup lebih layak
selama kepimpinanannya. Pemimpin harus bisa menepati janji-janji yang ia
lontarkan. Janji-janji yang dituangkan dalam visi yang harus diperjuangkan
tanpa pamrih. Selama visi itu belum tercapai, pemimpin yang baik tidak boleh
mengeluh. Terlebih bila ia dipilih menjadi pemimpin karena tebaran janji-janji
ketika kampanye.
Sebagai kepala negara, maka semestinya Presiden SBY tidak pantas
menyinggung gajinya. Seorang negarawan tidak boleh lagi membahas gaji, terlebih
menjadi seorang Presiden RI, Pak SBY sudah mendapat semua fasilitas. Pak SBY
tidak perlu lagi kuatir dapur rumahnya tidak berasap. Semua makanan, tempat
tidur, kendaraan dinas hingga pesawat terbang sudah disiapkan. Biaya
pengamanan, aksesoris sudah ditanggung semua oleh dana pajak. Setiap tahun,
negara menghabiskan Rp 400 miliar untuk urusan kepresidenan [7]. Dan tiap bulan Pak SBY sudah mendapat gaji pokok Rp 64.000.000. Belum
ditambah tunjangan yang lain. Angka yang sangat-sangat besar bagi 31.2 juta
rakyat Indonesia yang masih berjuang keras melewati hari esok.
Jika ada pemimpin di negeri ini yang masih terus bertanya tentang kenaikan
gaji, fasilitas, pelesiran ke luar negeri hingga korupsi, maka mereka harus
bercermin dari Proklamator bangsa ini, Bung Hatta. Bung Hatta adalah salah satu
sosok tokoh yang patut menjadi contoh dan inspirasi bagi seluruh rakyat
Indonesia, terutama pemimpin bangsa ini. Selama menjadi Wakil Presiden
mendampingin Bung Karno, Bung Hatta sangat memegang nilai-nilai sebagai
negarawan. Beliau begitu disiplin, berintegritas, dan jujur. Bung Hatta
hidup sangat sederhana dan selalu setia pada kepentingan bangsa.
Salah satu kisah hidup Bung Hatta yang bekerja tanpa pamrih bagi negeri
adalah kisah sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu
bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai
wakil presiden, berniat membelinya. Beliau kemudian menyimpan guntingan iklan
yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu
idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena
selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan
handai taulan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan. Hingga akhir
hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena
tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu
hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana
dari seorang Hatta. Jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sebenarnya
sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan
meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun, di sinilah letak kenegarawan dan abdi negara seorang Bung Hatta.
Dalam keadaan hidup sederhana, Bung Hatta tidak pernah mengeluh kepada
masyarakat bahwa beliau hidup miskin, gajinya kecil, gajinya tidak naik-naik.
Sama sekali tidak pernah. Dia tidak berpidato meminta belas kasihan untuk
menaikan popularitasnya. Dia tidak pernah menggunakan titelnya sebagai
Proklamator agar ia mendapat penghasilan yang tinggi. Bung Hatta tidak pernah
mengatakan bahwa “Seharusnya gaji seorang proklamator sekaligus presiden harus
tertinggi”. Tidak pernah. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan
sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata
gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain,
sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada
kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang
atau bergantung pada orang lain. Dan yang pasti, beliau tidak curhat agar
dirinya dikasihin sehingga popularitasnya naik. Bung Hatta merupakan sosok
tokoh bangsa yang telah memadukan antara kata dan perbuatannya. Bukan hanya
sebatas slogan “satu kata, satu perbuatan”.